Articles
Berhenti Mencari Jati Diri Anda Dalam Pekerjaan

Kejernihan kerap berkunjung tanpa diduga, dan jarang menetap lama. Terlebih bila menyangkut siapa diri kita sebenarnya.
Pada suatu pagi di musim dingin yang lalu, saya sedang melamun di atas lift khusus untuk bermain ski, separuh menikmati memandang Jen dan anak-anak kami dibawa ke atas gunung, dan separuh mengkhawatirkan mengenai sebuah kalimat yang terus melintas di benak saya.
Paginya, saya bangun lebih awal setelah semalaman menulis untuk mengejar deadline, dan saya tidak sepenuhnya tergugah oleh kopi ataupun mentari pagi.
Realisasinya mendapati saya dengan tepat di sana. Terikat pada keluarga, pekerjaan, dan pada seutas kabel yang perlahan menarik saya ke atas dengan sebuah mesin yang letih. Ia mengenai saya dengan kejelasan mutlak. Perasaan bahwa keadaan tak tenang, grogi, mengasihi, khawatir, sporty ini adalah diri saya.
Diri saya yang sejati, maksud saya. Siapa saya yang sebenarnya.
Saya merasa lega, ada perasaan akan penyelesaian. Tak perlu lagi mencari jati diri saya. (Setidaknya untuk sementara)
Lalu semuanya memudar dan saya menjalani hari yang membosankan.
Tiga ribu tahun telah berlalu semenjak tulisan “Kenali dirimu” diukir di pintu gerbang kuil Apollo di Delphi. Lima abad semenjak Shakespeare memberi Polonius “Jadilah dirimu yang sebenarnya.” Tetapi akhir-akhir ini, di banyak tempat, kita tidak berpaling memohon bantuan kepada agama ataupun literatur. Petualangan untuk kemawasan diri dan otentitas membawa kita ke tempat lain. Kita diarahkan untuk mencari dan mengekspresikan diri kita yang sebenarnya dalam pekerjaan.
Saya meluangkan hidup saya dengan orang-orang eksekutif, mahasiswa, kenalan, sahabat, dan kolega yang khawatir dengan jati diri mereka yang sesungguhnya. Terkadang, terobsesi olehnya. Banyak yang tidak merasakan kehadirannya, dan menginginkannya. Beberapa skeptis bahwa hal itu ada.
“Saya datang ke sini untuk menemukan diri saya”, Saya telah mendengar banyak manajer menjelaskan demikian saat mereka ditanya mengapa mereka mengikuti kelas MBA atau executive course, atau mengambil pekerjaan baru. Ini merupakan sebuah ambisi baru yang sering dikutip orang yang menjadi founder, partner, MD atau CEO.
Ini banyak terjadi pada para manajer yang ada di pertengahan karir, yang seringkali merasa bahwa kenyamanan materi, gelar dan pencapaian telah membuat mereka mengabaikan jati diri mereka. Tetapi saat mereka memutuskan untuk berhenti mengabaikannya, usaha-usaha introspeksi dan berelaksasi ternyata tidak terlalu menghasilkan. Diri mereka yang sejati tidak juga ditemukan.
Diri sejati bukanlah mendambakan waktu yang telah hilang. Ia mendambakan waktu kita. Pertanyaannya adalah mengapa ia terasa begitu memikat dan samar.
Ketidakstabilan dalam dunia bisnis – dimana kita diharapkan untuk menemukan, membentuk dan memenuhi, bukannya dilahirkan menjadi siapa kita saat ini- menciptakan lebih banyak kesempatan, bagi banyak orang, untuk membentuk
Karir dan arah hidup lebih dari yang kita miliki sebelumnya.
Ketidakstabilan yang sama pula yang hanya memberi kita sedikit petunjuk dan arahan. Ini membuat pencarian jati diri menjadi lebih penting, petualangan mencari titik orientasi yang mungkin dapat menghentikan kita dari tersesat dalam usaha beradaptasi dengan demand yang berubah-ubah.
Dalam abad yang penuh komitmen yang longgar, perubahan yang konstan, dan profesionalisme yang nomaden, jati diri yang sejati menghadirkan ilusi mengenai kepastian, komitmen, dan arah. Penemuan diri adalah tugas yang baru, hanya mengarah kedalam diri.
Ini jauh dari yang Donald Winnicott (seorang psikoanalis dari Inggris) maksudkan saat ia pertama kali memperkenalkan gagasan bahwa kita memiliki “jati diri yang sejati”. Dan mungkin ini alasannya kita takkan pernah menemukannya.
Seperti menurut Winnicott, jati diri sejati adalah sebuah anugerah dan juga kejutan. Ia adalah suatu keadaan yang dimungkinkan dengan mempedulikan orang lain yang memberi kita kedamaian cukup lama bagi kita untuk memperhatikan dan mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harpan kita saat ini, dan merespon kita dengan baik.
Anak-anak yang mendapatkan perawatan yang tulus dan responsif, Winnicott mengamati, merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri mereka dan mengeksplorasi lingkungannya. Mereka yang tidak mendapatkannya, akan mencari petunjuk dari yang lain.
Yang disebutkan pertama, ia mengatakan, lebih mungkin tumbuh menjadi orang dewasa yang mempercayai dirinya dan orang lain, dan mampu bersikap spontan saat lingkungan memungkinkan – sebuah insight yang sekarang dikonfirmasi oleh riset puluhan tahun terhadap attachment style.
Dalam perjalanan dari tempat perawatan balita ke tempat kerja, bagaimanapun, konsep jati diri sejati telah menjadi populer dan berbeda secara drastis. Kita tidak hanya telah membawanya ke konteks yang bebeda. Kita telah mengeluarkan konteks dari hal tersebut. Jati diri sejati telah berubah dari sebuah anugerah menjadi sebuah pencapaian, dari sebuah pengalaman singkat akan kemungkinan menjadi sebuah gambaran yang awet mengenai siapa diri kita.
Kemawasan diri telah menjadi sebuah padanan akan keselarasan, istilah lain dari menjadi peduli akan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Otentitas telah menjadi padanan untuk konsistensi, sebuah istilah yang dipahami sebagai bertindak seragam dalam domain-domain berbeda. Dan kita telah melihat jati diri sejati lebih sebagai sebuah berlian ketimbang sebuah bibit. Tidak lagi sesuatu yang dipelihara seiring waktu, dan lebih sebagai batu berharga yang tersembunyi di dalam, yang suatu saat akan tergali, dipoles dan dipajang untuk menjadi simbol status dan sumber nilai pasar – selama kita bisa bertahan padanya.
Dikerdilkan menjadi sebuah image, jati diri sejati menjadi tak lebih dari sebuah selfie, sebuah gambaran yang dibuat untuk memuji diri kita sendiri dan membuat orang lain kagum. Image seeperti demikian jarang yang terasa sebenar-benarnya, bilapun terasa benar ia tidak akan bertahan lama.
Karena kesejatian diri kita tidak ditentukan oleh seberapa akurat, seberapa awet atau seberapa menyenangkan terasanya, tetapi oleh kemerdekaan dalam mengeluarkannya. Ia tidak berdiam pada sebuah gambaran, tetapi pada kemungkinan untuk menjadi spontan dan terkejutkan, tidak mengenali diri sendiri
dan memiliki ruang untuk mencaritahu diri kita.
Dilihat seperti demikian, jati diri sejati tidaklah awet ataupun konsisten. Ia terus berubah. Ia bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan sebuah permulaan. Ia dapat ditemukan tetapi tidak dapat dipertahankan. Ia tidak selalu terasa baik, dan bukannya ditemukan atau diciptakan, melainkan dibebaskan. Kita tidak mengenalinya saat kita melihatnya. Kita merasakannya saat kita dapat melupakannya.
Pekerjaan yang memberikan kita kesenangan , atau yang dipuji orang lain, mungkin adalah ekspresi dari jati diri sejati. Tetapi ia bukan jati diri sejati itu sendiri. Saat kita kira demikian, kita terperangkap olehnya.
Inilah mengapa saya kerap menyarankan mereka yang mendambakan menjadi jujur pada diri sendiri untuk berhenti bertanya pada diri mereka mengenai siapa dirinya, dan merenungkan di mana mereka merasa lebih bebas dan siapa yang akan membantu mereka mengelola perasaan campur aduk yang mengikuti kebiasaan itu.
Karena pada akhirnya, kita membutuhkan kasih sayang yang kuat untuk bisa jujur pada diri sendiri. Tanpa mengasihi orang lain, kemerdekaan akan terasa membingungkan, tak tertahankan, atau keduanya – dan kegelisahan segera mengambil alih.
Walau feedback mungkin bisa memperteduh otentitas kita, kasih sayanglah yang membebaskan kita. Jenis kasih sayang yang membantu kita berhenti berobsesi, dan tidak membiarkan kita menyerah pada diri sendiri.
Sumber : The Daily Alert from Harvard Business Review
Dikutip dari : Business Growth